POLEMIK
PENEGAKAN HUKUM DALAM PRAKTEK DI INDONESIA
Sebuah Renungan
Kontemplatif
A.
LATAR BELAKANG
Sudah cukup lama rasanya negeri ini dihadapi
berbagai polemik masalah yang cukup berat, khususnya dalam bidang penegakan
hukum. Indikasinya sangat mudah ditemukan, antara lain: disiplin orang-orang hanya
menjadi harapan yang tanpa perwujudan, kejujuran sudah dianggap aneh, kebenaran
tertukar dengan “merasa benar,” “keadilan” hanya menjadi ungkapan. bahkan yang
lebih celaka lagi sikap hedonis yang semakin parah, sehingga kehidupan dunia
dianggap lebih baik dari kehidupan akhirat. Lebih jauhnya lagi orang-orang yang
tergolong elit senang sekali
memamerkan sikap bermegah-megah dengan harta dan pengikut yang akibatnya telah
melalaikan manusia dari taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
“Keadilan” hanyalah menjadi ungkapan yang merdu
didengar saja, ternyata bukan “isapan jempol,” karena pengadilan malah dianggap
paling pintar dalam memutar-balikan keadilan. Keadaan itu bahkan telah menjadi
rahasia publik di negeri ini. Betapa mahalnya harga sebuah keadilan terlebih
untuk si miskin. Kondisi di atas tentu tidak dapat dilepaskan dari rentang
sejarah penegakan hukum yang berlangsung beberapa dekade sebelumnya. Seperti telah
kita maklumi bahwa selama beberapa dasawarsa karakter produk hukum represif
atau menindas telah menjadi salah satu.
Dalam
praktik tidak jarang yang terjadi adalah hukum ditegakkan secara konsisten
kepada warga yang marjinal secara ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi
penegakan hukum bagi warga yang dominan secara ekonomi, politik, sosial dan
budaya dilakukan secara longgar dan karena mampu menawar penegakan hukum.
Penegakan
hukum di Indonesia masih belum berjalan dengan baik dan begitu memprihatinkan.
Permasalahan penegakan hukum (law enforcement) selalu bertendensi pada
ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau das
sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan das sein. Lemahnya
penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai
penyelesaian kasus besar yang belum tuntas, salah satunya adalah praktek
korupsi yang merajalela, namun ironisnya para pelaku utamanya sangat sedikit
yang terjerat hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan
beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil.
Konsep-konsep hukum
yang berkembang dewasa ini merupakan kelanjutan dari hukum yang didasarkan pada
kekuasaan politik yang sentral. Soetandyo melihat pergeseran ini dalam tiga
tahapan, yaitu pada saat hukum disandarkan pada moralitas yang terjadi sebelum
terjadinya penjajahan, kemudian terjadi transformasi pada masa kolonial, dan
terakhir pada masa kemerdekaan dimana hukum kolonial inilah yang kemudian
dikembangkan dan diajarkan di sekolah-sekolah hukum.[1] Maka
terjadilah seperti apa yang diungkapkan Satjipto Rahardjo:
“...sistem lama, yang notabene adalah liberal itu, telah
menimbulkan “penyakit-penyakit” sendiri, seperti juga telah banyak dikritik di
Amerika Serikat. Di Indonesia, dalam konteks pemberantasan korupsi, sering
dikatakan, bahwa pengadilan telah menjadi tempat perlindungan yang aman (safe
heaven) bagi para koruptor.[2]
Dalam
memandang atau berpendapat tentang hukum (baik sebagai ilmu maupun sebagai
praktek), kita melihat pada citra yang ada dan dibangun oleh hukum (baik
sebagai lembaga maupun pranata). Realitas yang ada tentang hukum
mempresentasikan produk atau jasa dilakukan oleh lembaga penegak hukum selama
ini, dan citra lebih memproyeksikan value dari prestasi atau kegagalan
tersebut. Sayang sekali kondisi hukum Indonesia dicitrakan dengan isilah kebusukan
hukum. Citra yang demikian tersebut tidak salah karena kondisi hukum kita
memang dalam keadaaan kritis dan parah.[3]
Jika kita
amati, penegakan hukum di Indonesia masih belum berjalan dengan baik dan begitu
memprihatinkan. Permasalahan penegakan hukum (law enforcement) selalu
bertendensi pada ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan
atau das sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan das
sein[4].
Lebih
lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa berhukum memang dimulai dari teks
(undang-undang), tetapi sebaiknya kita tidak berhenti sampai disitu. Teks hukum
yang bersifat umum itu memerlukan akurasi atau penajaman yang kreatif saat
diterapkan pada kejadian nyata di masyarakat. Pada akhirnya apakah negara hukum
dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, tidak bertumpu pada bunyi
pasal-pasal undang-undang, melainkan pada perilaku penegak hukum yang dapat
bertindak beyond the call of duty. Meminjam kata-kata Ronald Dworkin,
kita perlu taking rights seriously dan melakukan moral reading of the
law. Berhukum dengan teks baru merupakan awal perjalanan panjang untuk
mewujudkan tujuan agar hukum dapat mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi
kemanusiaan.[5]
Ketika
berangkat dari asumsi keadilan menjadi nilai objektif yang harus dipenuhi,
tentunya hal ini tidak begitu saja akan berjalan mulus sesuai dengan perspektif
cita-cita nilai jika
terpenuhinya faktor atau unsur utility (manfaat) dan importance (kepentingan)
dan secara subjektif apabila terpenuhinya faktor need (kebutuhan) dan estimation
(perkiraan[6]).
Dalam
menjelaskan penegakan hukum di Indonesia itu sendiri yang sarat akan
penyimpangan dalam berhukum, Sidharta menjelaskan hal ini melalui apa yang
disebut sebagai jurang hukum. Jurang hukum menjadi sangat terbuka karena
pembentuk undang-undang memang tidak pernah mampu memperkirakan secara lengkap
varian-varian peristiwa konkret yang akan terjadi di kemudian hari. Apabila
ketentuan itu tidak secara tepat dapat menjawab kebutuhan guna menyelesaikan
peristiwa konkret, maka ketentuan normatif ini dapat diperluas atau dipersempit
area pemaknaannya.[7]
B. RUMUSAN MASALAH
Dari
paparan diatas dapat dijadikan rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana
praktek penegakan hukum di Indonesia?
C. PEMBAHASAN
Mengamati sisi hukum
Negara kita, khususnya penegakkan hukum ibarat bermain-main dengan api yang suatu
saat pasti akan terbakar. Artinya, siapa yang bermain-main dengan hukum pasti
akan merasakan akibat dari perbuatannya sendiri. Mungkin tidak berlebihan kalau
kita katakan masih banyak aparat hukum kita yang bermain api terhadap persoalan
hukum. Ini bukan berarti kesalahan hanya ada pada penegak hukum aktif saja,
melainkan semua unsur terkait (pemerintah, legislator) yang saling terkait
dalam merumuskan sistem hukum di Negara ini.
Beranjak dari fenomena tersebut, tulisan ini mencoba
menguraikan tentang perbaikan sistem hukum dalam pembangunan hukum di Indonesia
Kurangnya independensi kelembagaan hukum, terutama lembaga lembaga penegak
hukum yang membawa akibat besar dalam sistem hukum.
Intervensi terhadap kekuasaan yudikatif misalnya telah mengakibatkan terjadinya
partialitas dalam berbagai putusan, walaupun hal seperti ini menyalahi
prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem peradilan. Akumulasi terjadinya putusan-putusan
yang meninggalkan prinsip impartialitas dalam jangka panjang telah berperan
terhadap terjadinya degradasi kepercarcayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun
hilangnya kepastian hukum Akuntabilitas kelembagaan hukum. Independensi dan
akuntabilitas merupakan merupakan dua sisi uang logam. Oleh karena itu
independensi lembaga hukum harus disertai dengan akuntabilitas. Namun dalam praktek
pengaturan tentang akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas,
baik kepada siapa atau lembaga mana ia harus bertanggung jawab maupun tata cara
bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggung jawabannya. Hal ini
memberikan kesan tiada transparansi di dalam semua proses hukum.
Disamping itu faktor sumberdaya manusia di bidang
hukum, secara umum mulai dari peneliti hukum, perancang perundang-undangan sampai
pada tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu peningkatan, termasuk
dalam hal memahami dan berperilaku responsife gender.
Sistem Peradilan yang tidak transparan dan terbuka
juga mengakibat hukum belum sepenuhnya memihak kepada kebenaran dan keadilan
karena tiadanya akses masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan peradilan. Kondisi tersebut juga diperlemah dengan
profesionalisme dan kualitas sistem peradilan yang masih belum memadai sehingga
membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di dalam proses peradilan
atau lebih dikenal dengan mafia peradilan. Melakukan pembenahan struktur hukum
melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan
staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan, menyederhanakan
sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh
masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak kepada
kebenaran dengan selalu memperhatikan kemajemukan budaya yang ber-Bhineka
Tunggal Ika.
Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan
kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji terhadapUndang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Yudisial yang akan melakukan pengawasan
terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Terbentuknya Mahkamah Konstitusi
merupakan upaya pemerintah dalam menata semua peraturan perundang-undangan baik
di pusat maupun di daerah. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan (Judicial
Review) untuk menentukan apakah suatu produk perundang-undangan itu sah
atau tidak. Sayogyanya hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber dan
tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi sebagaimana teori “Stufenbautheory”,
dari Hans Kelsen.
Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman membawa perubahan
bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan
Negara dengan beralihnya kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan
lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Pembinaan satu atap oleh Mahkamah Agung
secara politik hukum agar penegakan hukum (law inforcement) tidak
diintervensi oleh kekuatan eksekutif. Sebagai benteng terakhir orang mencari
keadilan. Mahkamah Agung harus steril dari segala macam tawar-menawar yang
dilakukan oleh orang-orang yang ingin membeli hukum. Untuk itu pembentukan
lembaga Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku para hakim perlu kita apresiasikan
sebagai langkah positif kearah pembangunan struktur hukum yang independen disertai dengan
akuntabilitas lembaga hukum.
Peningkatan profesionalisme hakim dan aparat
peradilan perlu dilakukan, sehingga putusan-putusan yang dihasilkan tidak
semata-mata dari apa yang telah diatur dalam undang-undang, tetapi lebih jauh dari
pada itu hakim harus bisa menemukan hukum (rechtvainding) terhadap suatu
peristiwa yang tidak ada pengaturannya dalam undang-undang. Karena hukum akan
menjadi bermakna hanya dengan cara penafsiran yang bergantung kepada norma
dasar yang didalilkan. Sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law yang
tidak murni seperti terlihat dari keputusan-keputusan hakim yang dijadikan
sebagai sumber hukum (yurisprudensi).
Fenomena ini tentu menuntut seorang hakim pada saat menjatuhkan hukuman harus
dibekali dengan penguasaan ilmu hukum, disamping fenomena-fenomena krusial yang
berkembang di masyarakat.
Dalam berbagai
penanganan kasus hukum yang terjadi di tanah air, seringkali mencuat menjadi
bahan perbincangan publik karena putusan peradilan dianggap mengabaikan
nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat dan pencari
keadilan. Proses hukum di lingkungan peradilan Indonesia hingga saat ini
dianggap belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya.
Keadilan seolah menjadi “barang mahal” yang jauh dari jangkauan masyarakat.
Banyak variabel masalah
di dalam dan di sekitarnya. Dari dalam hukum, tersembur masalah nilai dan norma
yang acapkali dicampakkan setiap kali dia digerakkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang di hadapkan kepadanya. Hukum yang tampil gentayangan dalam misi menyelesaikan
masalah tanpa nilai dan norma itu, telah mendatangkan ketidakpastian,
ketidakadilan, dan manfaat.
Hukum yang gentayangan demikian itu adalah hukum
yang substansi dan proses pembuatannya dilakukan oleh orang-orang yang kosong
jiwa, tidak memahami dan mendalami hakikat dan tujuan hukum. Tidak mengerti dan
paham realitas sosial di mana hukum itu akan bekerja. Hukum tidak lebih sekadar
konstruksi hipotetis (rumusan pasal-pasal dan ayat-ayat) dari masalah-masalah sosial
yang tidak nyambung. Lain realitas, lain isi hukum. Tidak aneh apabila
ada satu atau lebih undang-undang tidak dapat dijalankan karena tidak sesuai
dengan realitas yang akan diatasi, atau belum sempat dilaksanakan sudah harus
dicabut atau direvisi untuk
disesuaikan dengan realitas.
Sementara variabel lain di luar hukum seperti
institusi dan orang-orang yang menjalankan hukum (polisi, jaksa, hakim, sipir, Satpol
PP, petugas pajak, bea cukai, advokat,), masyarakat pencari keadilan, dan
seterusnya telah menambah kerunyaman hukum. Hukum harus dijalankan dengan
norma-norma pelaksanaan dari masing-masing institusi. Polisi menjalankan hukum
berdasar UU Pokok Kepolisian; jaksa dengan UU Pokok Kejaksaan; hakim dengan UU
Pokok Kekuasaan Kehakiman; pengadilan dengan UU Peradilan Umum, Peradilan
Khusus; lembaga pemasyarakat menjalankan kewenangan dengan UU Pokok Lembaga Pemasyarakatan,
dan seterusnya dan sebagainya. Bias dan penyimpangan dalam pelaksanaan tidak
bisa dihindarkan.
Aspek sarana pendukung penegakan hukum yang minim dan
terbatas telah menjadi persoalan tersendiri yang tak kalah besarnya memberi
dampak pada mutu penegakan hukum. Kita tidak akan mampu mempraktikkan penegakan
hukum yang fair (fair trial process) tanpa sarana prasarana
penegakan hukum yang baik. Kantor dan ruang tahanan di kepolisian yang sempit
dan pengap, persidangan molor waktu mulai dan berakhir karena ruang sidang
terbatas, kapasitas LP yang tidak sebanding dengan jumlah tahanan atau
narapidana, ruang tunggu di pengadilan yang tidak memadai bagi pihak-pihak yang
akan bersidang, dan seterusnya adalah contoh nyata institusi penegakan hukum
kita.
Pengalaman atau informasi tentang suap menyuap dalam
penegakan hukum yang dialami atau diperoleh masyarakat menjadikan hukum sebagai
momok yang menakutkan bagi masyarakat
miskin, buta hukum, dan terpinggirkan. Sementara bagi mereka yang berpunya
(punya akses dan punya duit) penegakan hukum justru mereka daya gunakan untuk
memenjarakan orang, mengkriminalkan orang, merebut hak-hak legal orang lain, membebaskan
yang bersalah, menghukum yang tak bersalah, memberatkan atau meringankan
hukuman, dan seterusnya.
Penegakan hukum lalu menjelma menjadi semacam drama.
Peristiwa hukum bukanlah peristiwa yang diurai untuk diselesaikan demi
keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, tetapi jalan cerita (skenario) yang
dipentaskan oleh aktor-aktor, di mana setiap babak ada klimak-klimak tersendiri.
Ujung dari drama itu sepenuhnya ditentukan oleh mereka dengan alat ukur tersendiri;
bukan alat ukur keadilan. Pendek kata, saat-saat ini kita harus jujur
menyatakan bahwa negara hukum Indonesia sedang bergelimang persoalan. Kita sedang
dilanda kerunyaman di level substansi hukum, institusi hukum; dilanda hipokrisi
penegakan hukum;
dan dilanda ketidakpercayaan luas terhadap hukum dan penegakan hukum. Status
negara hukum yang dijamin dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 sedang diuji, apakah
akan menuju negara hukum yang sesungguhnya, atau akan terus menjadi negara
hukum seolah-olah.
Jika
dilihat dari keberlakuan hukum secara empiris yang melihat keberlakuan hukum
secara langsung pada kenyataan di masyarakat dengan mengukur apakah hukum berhasil
mengarahkan tingkah laku masyarakat dan aparat penegak hukum berhasil
menegakkan hukum, maka dalam tataran realitas, hukum masih berjalan tidak
efektif.18 Penegakan
hukum di Indonesia yang masih jauh dari yang diharapkan tidak terlepas dari
pengaruh politik dalam berhukum. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada penegakan
hukum, namun juga karakteristik produk-produk hukum, serta proses pembuatannya.
Pelaksanaan fungsi dan penegakan hukum tidak selalu seiring dengan perkembangan
strukturnya. Hal ini jika ukuran pembangunan hukum di Indonesia adalah
unifikasi dan kodifikasi hukum, maka dari waktu ke waktu produktifitas
perundang-undangan mengalami peningkatan. Namun dari sisi yang lain dari segi
fungsi hukum telah terjadi kemerosotan.[8]
Pancasila sebagai suatu sistem tentang
segala hal, karena secara konseptual yang tertuang dalam sila berkaitan erat
dan tidak dapat dipisahkan. Nilai-nilai pancasila dalam bentuk yang paling
terlihat adalah kehidupan keberagamaan, pada akhirnya kontruksi kehidupan hukum
baik struktur, subtansi maupun kulturnya seyogyanya terderivasi dari
nilai-nilai ketuhanan dengan demikian keadilan itu bersandar pada ketuhanan itu
sendiri yang merupakan miliki semua agama dan Kepercayaan yang ada di
Indonesia; Islam, Kristen, Hindu Buddha, Konghucu, Aliran Kebatinan dan Yahudi.
Keberadaan semangat keberagamaan ini merupakan bagian dari jiwa hukum Indonesia yang
menghidupkan aspek-aspek filosofis, teoritis hingga ilmu hukum.
Karena itu, hukum juga harus senantiasa dilihat
dalam konteks struktur sosial dimana hukum itu berada. Fungsi utamanya dapat
dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai
instrumen
yang mengatur dan membatasi (limitating function) sehingga dapat
diwujudkan adanya kepastian (legal certainty) dan keadilan (justice)
bagi setiap individu, tetapi dapat pula dilihat sebagai instrumen yang
membebaskan (liberating function) sehingga dapat diwujudkan adanya
struktur sosial yang adil dan pasti yang bebas dari penindasan dan kekerasan
struktural. Artinya, hukum harus membebaskan (liberating) dengan tetap
menjamin ketertiban sosial (social order) dan keadilan sosial (social
justice). Jika struktur masyarakat timpang atau mengalami kesenjangan
sosial yang tidak adil, maka niscaya hukum tidak dapat bekerja dengan sempurna atau
dapat dikatakan tidak efektif. Sebaliknya, jika hukum tidak berfungsi dengan
baik, berarti struktur sosial dimana hukum itu berada, dapat dipastikan adalah
struktur sosial yang timpang dan tidak berkeadilan sosial.
Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk
selalu melihat hukum dalam konteks struktur sosial dalam kehidupan bermasyarakat
dimana hukum harus bekerja dengan efektif. Semakin timpang struktur vertikal
perikehidupan dalam masyarakat, makinsulit bagi hukum untuk menjalankan
fungsinya sebagai instrumen keadilan. Dalam struktur yang timpang, hukum
mungkin saja tegak dan ditegakkan, tetapi yang ditegakkan itu adalah
aturan-aturan formal yang tidak berjiwa keadilan. Hukum yang demikian cenderung
hanya mengabdi kepada kepentingan golongan yang berkuasa dan/atau yang berpunya.
Akibatnya, makin hukum ditegakkan, struktur sosial yang ada semakin memperlebar
jurang antara kaya-miskin dan antara yang berkuasa menentukan dengan yang tidak
menentukan. Untuk itu, di bawah ini akan diuraikan pelbagai aspek struktur
hukum Indonesia dan realitas hukum struktural dalam rangka pembaruan hukum di
Indonesia pasca reformasi. Keseluruhan aspek-aspek yang terdapat dalam struktur
dan realitas struktural sistem hukum Indonesia sebagaimana diuraikan di bawah
harus dipahami secara komprehensif agar dapat diajukan rekomendasi-rekomendasi
yang juga bersifat menyeluruh dan terpadu untuk memberi solusi atas
masalah-masalah hukum yang belum berhasil diperbaiki dan ditata kembali dalam
rangka agenda reformasi nasional yang sudah berlangsung selama beberapa tahun
terakhir.
Sistem biasa dipandang sebagai suatu konsepsi
tentang keseluruhan aspek dan elemen yang tersusun sebagai satu kesatuan terpadu
baik dalam garis vertikal, horizontal, ataupun diagonal. Oleh karena itu, yang
kita pahami sebagai sistem hukum tentulah merupakan keseluruhan aspek dan
elemen yang tersusun sebagai satu kesatuan terpadu tentang hukum. Dalam studi
ilmu hukum, kebanyakan orang terutama para sarjana hukum di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh pandangan Lawrence Friedmann tentang sistem hukum (legal system)
yang menurutnya mencakup tiga komponen atau sub-sistem, yaitu (i) komponen
struktur hukum, (ii) substansi hukum, dan (iii) budaya hukum. Pandangan
Lawrence Friedmann ini sangat populer di kalangan sarjana hukum Indonesia,
sehingga hampir tidak ada sarjana hukum yang tidak pernah mengutip dan menjadikannya
rujukan utama dalam setiap tulisan yang membahas mengenai sistem hukum. Untuk
itu, kita memerlukan cara pandang baru tentang apa yang hendak kita namakan dengan
Sistem Hukum Indonesia itu.
Zaman sekarang menuntut perubahan yang mendasar
dalam cara pandang kita tentang hukum. Prinsip-prinsip modern mengenai tatakelola
yang baik (good governance) mutlak harus mendapat perhatian seksama
termasuk di bidang hukum. Apalagi dengan semakin meluas dan berkembangnya
penerapan ‘information and communication technology’ (ICT) modern
di semua lingkungan dan lingkaran hukum di seluruh dunia, menyebabkan persoalan manajemen
dan sistem informasi dan komunikasi menjadi suatu kenicayaan. Bahkan dewasa
ini, masalah tatakelola hukum yang baik (good judicial governance) tidak
dapat lagi dipersempit pengertiannya hanya sebagai urusan aparatur hukum atau
pun hanya dikaitkan dengan persoalan sarana dan prasarana hukum.
Pada prinsipnya, kita hanya boleh tunduk dan taat
kepada perintah atas sepanjang perintah itu dalam rangka melaksanakan hukum
atau tidak bertentangan dengan hukum. Secara universal, doktrin dan asas-asas
hukum selalu melindungi semua subjek hukum yang taat pada aturan yang menjadi
korban perbuatan orang lain secara melanggar hukum sebagai akibat ketaatannya
kepada hukum. Misalnya, menurut Undang-Undang Perbendaharaan Negara, seorang
bendaharawan dilindungi dari ancaman pemecatan oleh atasan, jika ia tidak
melaksanakan perintah bayar oleh atasannya karena alasan bahwa perintah
tersebut bertentangan dengan undang-undang. Karena prinsip ini pula lah maka dalam
praktik, Menteri Keuangan sebagai bendaharawan negara sering mengabaikan atau
tidak melaksanakan perintah Presiden telah diberikan kepadanya karena alasan
bertentangan dengan undang-undang. Karena harus disadari bahwa setiap jabatan
mengandung dalam dirinya konsekwensi, yaitu tanggung jawab untuk tunduk dan taat
pada aturan hukum yang berlaku dan tanggung jawab untuk menjalankan atau
melaksanakan aturan hukum itu sebagaimana mestinya. Inilah ciri penting setiap
negara hukum, yaitu bahwa semua dan setiap proses penyelenggaraan kekuasaan
negara dan proses penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan atas undang-undang
yang berlaku.
Untuk lebih mengefektif dan mengefisienkan
penyelenggaraan penegakan hukum, diperlukan konsolidasi dan harmonisasi fungsional,
baik secara internal di tiap-tiap pelembagaan fungsifungsi penegakan hukum
tersebut di atas, maupun dalam hubungan antar fungsi dan antar kelembagaan
fungsi-fungsi itu satu sama lain. Misalnya, antara fungsi penyidikan ke
penuntutan diperlukan upaya penataan ke arah sistem yang lebih efisien dan
berkeadilan. Demikian pula antara fungsi semi atau quasi peradilan dengan fungsi
peradilan, diperlukan sinergi dan harmoni yang bersifat saling mendukung dan
saling melengkapi.
D.
PENUTUP
Perkembangan penegakan hukum di Indonesia yang masih belum
berjalan baik, salah satunya karena penegakan hukum yang masih diartikan
sebagai penegakan undang-undang semata sehingga keadilan prosedural dijadikan
acuan dalam proses penegakan hukum. Pengemban hukum praktis yang dapat berupa
parlemen, peradilan, lembaga bantuan hukum, dan birokrasi pemerintahan inilah
yang mengisi bangunan sistem hukum di Indonesia dalam struktur hukum dan
melakukan pembentukan hukum dalam membangun substansi hukum. Selain itu yang
tidak kalah penting adalah budaya hukum itu sendiri yang berpengaruh signifikan
pada baik buruknya penegakan hukum di Indonesia. Seberapa besar kemanfaatan
hukum dapat dibentuk dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial yang
merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Tanpa budaya
atau lingkungan hukum yang baik, struktur dan substansi hukum adalah bangunan
yang tidak bernilai dalam konstruksi penegakan hukum yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Jakarta:
Buku Kompas
Soetandyo
Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial dan
Hukum,
(Setara Press:
Malang) Gwe Made Swardhana, “Pergulatan Hukum
Positivistik
Menuju Paradigma Hukum Progresif,”Jurnal MMH, Jilid 39 No.4,
(Desember,
2010)
Agus
Raharjo, “Hukum dan Dilema Pencitraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalamTeori dan Praktek,”Jurnal Hukum Pro Justitia Volume 24 No.1
Rif’ah,
“Penegakan Hukum di Indonesia: Sebuah Harapan dan Kenyataan”, Jurnal
Justitia
Islamica, Vol. 12/No.
Arief Sidharta, “Pendekatan Hukum Progresif dalam Mencairkan
Kebekuan Produk
Legislasi,”
dalam Moh. Mahfud MD, Sidharta, Sunaryati Hartono, dkk, 2013,
Dekonstruksi dan
Gerakan Pemikiran Hukum Progresif (Konsorsium Hukum
Progresif Universitas
Diponegoro Semarang), Yogyakarta: Thafa Media
Marzuki, Peter Mahmud. 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:
Kencana
Soehino, 1996, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty
Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti,
[1] Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran
Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum, (Setara Press: Malang),
hal. 21-34.
[2] Gwe Made Swardhana, “Pergulatan Hukum
Positivistik Menuju Paradigma Hukum Progresif,”Jurnal MMH, Jilid 39 No.4,
(Desember, 2010), hlm. 378
[3] Agus Raharjo, “Hukum dan Dilema Pencitraannya (Transisi
Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktek,”Jurnal Hukum Pro Justitia
Volume 24 No.1, hlm. 13
[4] Rif’ah, “Penegakan Hukum di Indonesia: Sebuah Harapan
dan Kenyataan”, Jurnal Justitia Islamica, Vol. 12/No.1,
(Januari-Juni, 2015), hlm. 40-41
[5] Ibid., hlm. 96
[7] Arief Sidharta, “Pendekatan Hukum Progresif dalam
Mencairkan Kebekuan Produk Legislasi,” dalam Moh. Mahfud MD, Sidharta,
Sunaryati Hartono, dkk, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum
Progresif (Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro Semarang), Yogyakarta:
Thafa Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar