Kamis, 03 Januari 2019

POLEMIK PENEGAKAN HUKUM DALAM PRAKTEK DI INDONESIA Sebuah Renungan Kontemplatif


POLEMIK PENEGAKAN HUKUM  DALAM PRAKTEK DI INDONESIA
Sebuah Renungan Kontemplatif



     A.     LATAR BELAKANG

                      Sudah cukup lama rasanya negeri ini dihadapi berbagai polemik masalah yang cukup berat, khususnya dalam bidang penegakan hukum. Indikasinya sangat mudah ditemukan, antara lain: disiplin orang-orang hanya menjadi harapan yang tanpa perwujudan, kejujuran sudah dianggap aneh, kebenaran tertukar dengan “merasa benar,” “keadilan” hanya menjadi ungkapan. bahkan yang lebih celaka lagi sikap hedonis yang semakin parah, sehingga kehidupan dunia dianggap lebih baik dari kehidupan akhirat. Lebih jauhnya lagi orang-orang yang tergolong elit senang sekali memamerkan sikap bermegah-megah dengan harta dan pengikut yang akibatnya telah melalaikan manusia dari taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

“Keadilan” hanyalah menjadi ungkapan yang merdu didengar saja, ternyata bukan “isapan jempol,” karena pengadilan malah dianggap paling pintar dalam memutar-balikan keadilan. Keadaan itu bahkan telah menjadi rahasia publik di negeri ini. Betapa mahalnya harga sebuah keadilan terlebih untuk si miskin. Kondisi di atas tentu tidak dapat dilepaskan dari rentang sejarah penegakan hukum yang berlangsung beberapa dekade sebelumnya. Seperti telah kita maklumi bahwa selama beberapa dasawarsa karakter produk hukum represif atau menindas telah menjadi salah satu. Dalam praktik tidak jarang yang terjadi adalah hukum ditegakkan secara konsisten kepada warga yang marjinal secara ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi penegakan hukum bagi warga yang dominan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya dilakukan secara longgar dan karena mampu menawar penegakan hukum.
Penegakan hukum di Indonesia masih belum berjalan dengan baik dan begitu memprihatinkan. Permasalahan penegakan hukum (law enforcement) selalu bertendensi pada ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau das sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan das sein. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas, salah satunya adalah praktek korupsi yang merajalela, namun ironisnya para pelaku utamanya sangat sedikit yang terjerat hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil.
 Konsep-konsep hukum yang berkembang dewasa ini merupakan kelanjutan dari hukum yang didasarkan pada kekuasaan politik yang sentral. Soetandyo melihat pergeseran ini dalam tiga tahapan, yaitu pada saat hukum disandarkan pada moralitas yang terjadi sebelum terjadinya penjajahan, kemudian terjadi transformasi pada masa kolonial, dan terakhir pada masa kemerdekaan dimana hukum kolonial inilah yang kemudian dikembangkan dan diajarkan di sekolah-sekolah hukum.[1] Maka terjadilah seperti apa yang diungkapkan Satjipto Rahardjo:
“...sistem lama, yang notabene adalah liberal itu, telah menimbulkan “penyakit-penyakit” sendiri, seperti juga telah banyak dikritik di Amerika Serikat. Di Indonesia, dalam konteks pemberantasan korupsi, sering dikatakan, bahwa pengadilan telah menjadi tempat perlindungan yang aman (safe heaven) bagi para koruptor.[2]

Dalam memandang atau berpendapat tentang hukum (baik sebagai ilmu maupun sebagai praktek), kita melihat pada citra yang ada dan dibangun oleh hukum (baik sebagai lembaga maupun pranata). Realitas yang ada tentang hukum mempresentasikan produk atau jasa dilakukan oleh lembaga penegak hukum selama ini, dan citra lebih memproyeksikan value dari prestasi atau kegagalan tersebut. Sayang sekali kondisi hukum Indonesia dicitrakan dengan isilah kebusukan hukum. Citra yang demikian tersebut tidak salah karena kondisi hukum kita memang dalam keadaaan kritis dan parah.[3]
Jika kita amati, penegakan hukum di Indonesia masih belum berjalan dengan baik dan begitu memprihatinkan. Permasalahan penegakan hukum (law enforcement) selalu bertendensi pada ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau das sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan das sein[4].
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa berhukum memang dimulai dari teks (undang-undang), tetapi sebaiknya kita tidak berhenti sampai disitu. Teks hukum yang bersifat umum itu memerlukan akurasi atau penajaman yang kreatif saat diterapkan pada kejadian nyata di masyarakat. Pada akhirnya apakah negara hukum dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, tidak bertumpu pada bunyi pasal-pasal undang-undang, melainkan pada perilaku penegak hukum yang dapat bertindak beyond the call of duty. Meminjam kata-kata Ronald Dworkin, kita perlu taking rights seriously dan melakukan moral reading of the law. Berhukum dengan teks baru merupakan awal perjalanan panjang untuk mewujudkan tujuan agar hukum dapat mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi kemanusiaan.[5]
Ketika berangkat dari asumsi keadilan menjadi nilai objektif yang harus dipenuhi, tentunya hal ini tidak begitu saja akan berjalan mulus sesuai dengan perspektif cita-cita nilai jika terpenuhinya faktor atau unsur utility (manfaat) dan importance (kepentingan) dan secara subjektif apabila terpenuhinya faktor need (kebutuhan) dan estimation (perkiraan[6]).
Dalam menjelaskan penegakan hukum di Indonesia itu sendiri yang sarat akan penyimpangan dalam berhukum, Sidharta menjelaskan hal ini melalui apa yang disebut sebagai jurang hukum. Jurang hukum menjadi sangat terbuka karena pembentuk undang-undang memang tidak pernah mampu memperkirakan secara lengkap varian-varian peristiwa konkret yang akan terjadi di kemudian hari. Apabila ketentuan itu tidak secara tepat dapat menjawab kebutuhan guna menyelesaikan peristiwa konkret, maka ketentuan normatif ini dapat diperluas atau dipersempit area pemaknaannya.[7]
B.     RUMUSAN MASALAH
Dari paparan diatas dapat dijadikan rumusan masalahnya adalah:
1.      Bagaimana praktek penegakan hukum di Indonesia?
           
             C. PEMBAHASAN

 Mengamati sisi hukum Negara kita, khususnya penegakkan hukum ibarat bermain-main dengan api yang suatu saat pasti akan terbakar. Artinya, siapa yang bermain-main dengan hukum pasti akan merasakan akibat dari perbuatannya sendiri. Mungkin tidak berlebihan kalau kita katakan masih banyak aparat hukum kita yang bermain api terhadap persoalan hukum. Ini bukan berarti kesalahan hanya ada pada penegak hukum aktif saja, melainkan semua unsur terkait (pemerintah, legislator) yang saling terkait dalam merumuskan sistem hukum di Negara ini.
Beranjak dari fenomena tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan tentang perbaikan sistem hukum dalam pembangunan hukum di Indonesia Kurangnya independensi kelembagaan hukum, terutama lembaga lembaga penegak hukum yang membawa akibat besar dalam sistem hukum. Intervensi terhadap kekuasaan yudikatif misalnya telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai putusan, walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem peradilan. Akumulasi terjadinya putusan-putusan yang meninggalkan prinsip impartialitas dalam jangka panjang telah berperan terhadap terjadinya degradasi kepercarcayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun hilangnya kepastian hukum Akuntabilitas kelembagaan hukum. Independensi dan akuntabilitas merupakan merupakan dua sisi uang logam. Oleh karena itu independensi lembaga hukum harus disertai dengan akuntabilitas. Namun dalam praktek pengaturan tentang akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana ia harus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggung jawabannya. Hal ini memberikan kesan tiada transparansi di dalam semua proses hukum.
Disamping itu faktor sumberdaya manusia di bidang hukum, secara umum mulai dari peneliti hukum, perancang perundang-undangan sampai pada tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan berperilaku responsife gender.
Sistem Peradilan yang tidak transparan dan terbuka juga mengakibat hukum belum sepenuhnya memihak kepada kebenaran dan keadilan karena tiadanya akses masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan. Kondisi tersebut juga diperlemah dengan profesionalisme dan kualitas sistem peradilan yang masih belum memadai sehingga membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di dalam proses peradilan atau lebih dikenal dengan mafia peradilan. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak kepada kebenaran dengan selalu memperhatikan kemajemukan budaya yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji terhadapUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Yudisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Terbentuknya Mahkamah Konstitusi merupakan upaya pemerintah dalam menata semua peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun di daerah. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan (Judicial Review) untuk menentukan apakah suatu produk perundang-undangan itu sah atau tidak. Sayogyanya hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi sebagaimana teori “Stufenbautheory”, dari Hans Kelsen.
Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan Negara dengan beralihnya kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Pembinaan satu atap oleh Mahkamah Agung secara politik hukum agar penegakan hukum (law inforcement) tidak diintervensi oleh kekuatan eksekutif. Sebagai benteng terakhir orang mencari keadilan. Mahkamah Agung harus steril dari segala macam tawar-menawar yang dilakukan oleh orang-orang yang ingin membeli hukum. Untuk itu pembentukan lembaga Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku para hakim perlu kita apresiasikan sebagai langkah positif kearah pembangunan struktur hukum yang independen disertai dengan akuntabilitas lembaga hukum.
Peningkatan profesionalisme hakim dan aparat peradilan perlu dilakukan, sehingga putusan-putusan yang dihasilkan tidak semata-mata dari apa yang telah diatur dalam undang-undang, tetapi lebih jauh dari pada itu hakim harus bisa menemukan hukum (rechtvainding) terhadap suatu peristiwa yang tidak ada pengaturannya dalam undang-undang. Karena hukum akan menjadi bermakna hanya dengan cara penafsiran yang bergantung kepada norma dasar yang didalilkan. Sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law yang tidak murni seperti terlihat dari keputusan-keputusan hakim yang dijadikan sebagai sumber hukum (yurisprudensi). Fenomena ini tentu menuntut seorang hakim pada saat menjatuhkan hukuman harus dibekali dengan penguasaan ilmu hukum, disamping fenomena-fenomena krusial yang berkembang di masyarakat.
Dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi di tanah air, seringkali mencuat menjadi bahan perbincangan publik karena putusan peradilan dianggap mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat dan pencari keadilan. Proses hukum di lingkungan peradilan Indonesia hingga saat ini dianggap belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya. Keadilan seolah menjadi “barang mahal” yang jauh dari jangkauan masyarakat.
Banyak variabel masalah di dalam dan di sekitarnya. Dari dalam hukum, tersembur masalah nilai dan norma yang acapkali dicampakkan setiap kali dia digerakkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang di hadapkan kepadanya. Hukum yang tampil gentayangan dalam misi menyelesaikan masalah tanpa nilai dan norma itu, telah mendatangkan ketidakpastian, ketidakadilan, dan manfaat.
Hukum yang gentayangan demikian itu adalah hukum yang substansi dan proses pembuatannya dilakukan oleh orang-orang yang kosong jiwa, tidak memahami dan mendalami hakikat dan tujuan hukum. Tidak mengerti dan paham realitas sosial di mana hukum itu akan bekerja. Hukum tidak lebih sekadar konstruksi hipotetis (rumusan pasal-pasal dan ayat-ayat) dari masalah-masalah sosial yang tidak nyambung. Lain realitas, lain isi hukum. Tidak aneh apabila ada satu atau lebih undang-undang tidak dapat dijalankan karena tidak sesuai dengan realitas yang akan diatasi, atau belum sempat dilaksanakan sudah harus dicabut atau direvisi untuk disesuaikan dengan realitas.
Sementara variabel lain di luar hukum seperti institusi dan orang-orang yang menjalankan hukum (polisi, jaksa, hakim, sipir, Satpol PP, petugas pajak, bea cukai, advokat,), masyarakat pencari keadilan, dan seterusnya telah menambah kerunyaman hukum. Hukum harus dijalankan dengan norma-norma pelaksanaan dari masing-masing institusi. Polisi menjalankan hukum berdasar UU Pokok Kepolisian; jaksa dengan UU Pokok Kejaksaan; hakim dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman; pengadilan dengan UU Peradilan Umum, Peradilan Khusus; lembaga pemasyarakat menjalankan kewenangan dengan UU Pokok Lembaga Pemasyarakatan, dan seterusnya dan sebagainya. Bias dan penyimpangan dalam pelaksanaan tidak bisa dihindarkan.
Aspek sarana pendukung penegakan hukum yang minim dan terbatas telah menjadi persoalan tersendiri yang tak kalah besarnya memberi dampak pada mutu penegakan hukum. Kita tidak akan mampu mempraktikkan penegakan hukum yang fair (fair trial process) tanpa sarana prasarana penegakan hukum yang baik. Kantor dan ruang tahanan di kepolisian yang sempit dan pengap, persidangan molor waktu mulai dan berakhir karena ruang sidang terbatas, kapasitas LP yang tidak sebanding dengan jumlah tahanan atau narapidana, ruang tunggu di pengadilan yang tidak memadai bagi pihak-pihak yang akan bersidang, dan seterusnya adalah contoh nyata institusi penegakan hukum kita.
Pengalaman atau informasi tentang suap menyuap dalam penegakan hukum yang dialami atau diperoleh masyarakat menjadikan hukum sebagai momok yang menakutkan bagi masyarakat miskin, buta hukum, dan terpinggirkan. Sementara bagi mereka yang berpunya (punya akses dan punya duit) penegakan hukum justru mereka daya gunakan untuk memenjarakan orang, mengkriminalkan orang, merebut hak-hak legal orang lain, membebaskan yang bersalah, menghukum yang tak bersalah, memberatkan atau meringankan hukuman, dan seterusnya.
Penegakan hukum lalu menjelma menjadi semacam drama. Peristiwa hukum bukanlah peristiwa yang diurai untuk diselesaikan demi keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, tetapi jalan cerita (skenario) yang dipentaskan oleh aktor-aktor, di mana setiap babak ada klimak-klimak tersendiri. Ujung dari drama itu sepenuhnya ditentukan oleh mereka dengan alat ukur tersendiri; bukan alat ukur keadilan. Pendek kata, saat-saat ini kita harus jujur menyatakan bahwa negara hukum Indonesia sedang bergelimang persoalan. Kita sedang dilanda kerunyaman di level substansi hukum, institusi hukum; dilanda hipokrisi penegakan hukum; dan dilanda ketidakpercayaan luas terhadap hukum dan penegakan hukum. Status negara hukum yang dijamin dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 sedang diuji, apakah akan menuju negara hukum yang sesungguhnya, atau akan terus menjadi negara hukum seolah-olah.
      Jika dilihat dari keberlakuan hukum secara empiris yang melihat keberlakuan hukum secara langsung pada kenyataan di masyarakat dengan mengukur apakah hukum berhasil mengarahkan tingkah laku masyarakat dan aparat penegak hukum berhasil menegakkan hukum, maka dalam tataran realitas, hukum masih berjalan tidak efektif.18 Penegakan hukum di Indonesia yang masih jauh dari yang diharapkan tidak terlepas dari pengaruh politik dalam berhukum. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada penegakan hukum, namun juga karakteristik produk-produk hukum, serta proses pembuatannya. Pelaksanaan fungsi dan penegakan hukum tidak selalu seiring dengan perkembangan strukturnya. Hal ini jika ukuran pembangunan hukum di Indonesia adalah unifikasi dan kodifikasi hukum, maka dari waktu ke waktu produktifitas perundang-undangan mengalami peningkatan. Namun dari sisi yang lain dari segi fungsi hukum telah terjadi kemerosotan.[8]
Pancasila sebagai suatu sistem tentang segala hal, karena secara konseptual yang tertuang dalam sila berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan. Nilai-nilai pancasila dalam bentuk yang paling terlihat adalah kehidupan keberagamaan, pada akhirnya kontruksi kehidupan hukum baik struktur, subtansi maupun kulturnya seyogyanya terderivasi dari nilai-nilai ketuhanan dengan demikian keadilan itu bersandar pada ketuhanan itu sendiri yang merupakan miliki semua agama dan Kepercayaan yang ada di Indonesia; Islam, Kristen, Hindu Buddha, Konghucu, Aliran Kebatinan dan Yahudi. Keberadaan semangat keberagamaan ini merupakan bagian dari jiwa hukum Indonesia yang menghidupkan aspek-aspek filosofis, teoritis hingga ilmu hukum.
Karena itu, hukum juga harus senantiasa dilihat dalam konteks struktur sosial dimana hukum itu berada. Fungsi utamanya dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai
instrumen yang mengatur dan membatasi (limitating function) sehingga dapat diwujudkan adanya kepastian (legal certainty) dan keadilan (justice) bagi setiap individu, tetapi dapat pula dilihat sebagai instrumen yang membebaskan (liberating function) sehingga dapat diwujudkan adanya struktur sosial yang adil dan pasti yang bebas dari penindasan dan kekerasan struktural. Artinya, hukum harus membebaskan (liberating) dengan tetap menjamin ketertiban sosial (social order) dan keadilan sosial (social justice). Jika struktur masyarakat timpang atau mengalami kesenjangan sosial yang tidak adil, maka niscaya hukum tidak dapat bekerja dengan sempurna atau dapat dikatakan tidak efektif. Sebaliknya, jika hukum tidak berfungsi dengan baik, berarti struktur sosial dimana hukum itu berada, dapat dipastikan adalah struktur sosial yang timpang dan tidak berkeadilan sosial.
Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk selalu melihat hukum dalam konteks struktur sosial dalam kehidupan bermasyarakat dimana hukum harus bekerja dengan efektif. Semakin timpang struktur vertikal perikehidupan dalam masyarakat, makinsulit bagi hukum untuk menjalankan fungsinya sebagai instrumen keadilan. Dalam struktur yang timpang, hukum mungkin saja tegak dan ditegakkan, tetapi yang ditegakkan itu adalah aturan-aturan formal yang tidak berjiwa keadilan. Hukum yang demikian cenderung hanya mengabdi kepada kepentingan golongan yang berkuasa dan/atau yang berpunya. Akibatnya, makin hukum ditegakkan, struktur sosial yang ada semakin memperlebar jurang antara kaya-miskin dan antara yang berkuasa menentukan dengan yang tidak menentukan. Untuk itu, di bawah ini akan diuraikan pelbagai aspek struktur hukum Indonesia dan realitas hukum struktural dalam rangka pembaruan hukum di Indonesia pasca reformasi. Keseluruhan aspek-aspek yang terdapat dalam struktur dan realitas struktural sistem hukum Indonesia sebagaimana diuraikan di bawah harus dipahami secara komprehensif agar dapat diajukan rekomendasi-rekomendasi yang juga bersifat menyeluruh dan terpadu untuk memberi solusi atas masalah-masalah hukum yang belum berhasil diperbaiki dan ditata kembali dalam rangka agenda reformasi nasional yang sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir.
Sistem biasa dipandang sebagai suatu konsepsi tentang keseluruhan aspek dan elemen yang tersusun sebagai satu kesatuan terpadu baik dalam garis vertikal, horizontal, ataupun diagonal. Oleh karena itu, yang kita pahami sebagai sistem hukum tentulah merupakan keseluruhan aspek dan elemen yang tersusun sebagai satu kesatuan terpadu tentang hukum. Dalam studi ilmu hukum, kebanyakan orang terutama para sarjana hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pandangan Lawrence Friedmann tentang sistem hukum (legal system) yang menurutnya mencakup tiga komponen atau sub-sistem, yaitu (i) komponen struktur hukum, (ii) substansi hukum, dan (iii) budaya hukum. Pandangan Lawrence Friedmann ini sangat populer di kalangan sarjana hukum Indonesia, sehingga hampir tidak ada sarjana hukum yang tidak pernah mengutip dan menjadikannya rujukan utama dalam setiap tulisan yang membahas mengenai sistem hukum. Untuk itu, kita memerlukan cara pandang baru tentang apa yang hendak kita namakan dengan Sistem Hukum Indonesia itu.
Zaman sekarang menuntut perubahan yang mendasar dalam cara pandang kita tentang hukum. Prinsip-prinsip modern mengenai tatakelola yang baik (good governance) mutlak harus mendapat perhatian seksama termasuk di bidang hukum. Apalagi dengan semakin meluas dan berkembangnya penerapan ‘information and communication technology’ (ICT) modern di semua lingkungan dan lingkaran hukum di seluruh dunia, menyebabkan persoalan manajemen dan sistem informasi dan komunikasi menjadi suatu kenicayaan. Bahkan dewasa ini, masalah tatakelola hukum yang baik (good judicial governance) tidak dapat lagi dipersempit pengertiannya hanya sebagai urusan aparatur hukum atau pun hanya dikaitkan dengan persoalan sarana dan prasarana hukum.
Pada prinsipnya, kita hanya boleh tunduk dan taat kepada perintah atas sepanjang perintah itu dalam rangka melaksanakan hukum atau tidak bertentangan dengan hukum. Secara universal, doktrin dan asas-asas hukum selalu melindungi semua subjek hukum yang taat pada aturan yang menjadi korban perbuatan orang lain secara melanggar hukum sebagai akibat ketaatannya kepada hukum. Misalnya, menurut Undang-Undang Perbendaharaan Negara, seorang bendaharawan dilindungi dari ancaman pemecatan oleh atasan, jika ia tidak melaksanakan perintah bayar oleh atasannya karena alasan bahwa perintah tersebut bertentangan dengan undang-undang. Karena prinsip ini pula lah maka dalam praktik, Menteri Keuangan sebagai bendaharawan negara sering mengabaikan atau tidak melaksanakan perintah Presiden telah diberikan kepadanya karena alasan bertentangan dengan undang-undang. Karena harus disadari bahwa setiap jabatan mengandung dalam dirinya konsekwensi, yaitu tanggung jawab untuk tunduk dan taat pada aturan hukum yang berlaku dan tanggung jawab untuk menjalankan atau melaksanakan aturan hukum itu sebagaimana mestinya. Inilah ciri penting setiap negara hukum, yaitu bahwa semua dan setiap proses penyelenggaraan kekuasaan negara dan proses penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan atas undang-undang yang berlaku.
Untuk lebih mengefektif dan mengefisienkan penyelenggaraan penegakan hukum, diperlukan konsolidasi dan harmonisasi fungsional, baik secara internal di tiap-tiap pelembagaan fungsifungsi penegakan hukum tersebut di atas, maupun dalam hubungan antar fungsi dan antar kelembagaan fungsi-fungsi itu satu sama lain. Misalnya, antara fungsi penyidikan ke penuntutan diperlukan upaya penataan ke arah sistem yang lebih efisien dan berkeadilan. Demikian pula antara fungsi semi atau quasi peradilan dengan fungsi peradilan, diperlukan sinergi dan harmoni yang bersifat saling mendukung dan saling melengkapi.

 D.    PENUTUP
Perkembangan penegakan hukum di Indonesia yang masih belum berjalan baik, salah satunya karena penegakan hukum yang masih diartikan sebagai penegakan undang-undang semata sehingga keadilan prosedural dijadikan acuan dalam proses penegakan hukum. Pengemban hukum praktis yang dapat berupa parlemen, peradilan, lembaga bantuan hukum, dan birokrasi pemerintahan inilah yang mengisi bangunan sistem hukum di Indonesia dalam struktur hukum dan melakukan pembentukan hukum dalam membangun substansi hukum. Selain itu yang tidak kalah penting adalah budaya hukum itu sendiri yang berpengaruh signifikan pada baik buruknya penegakan hukum di Indonesia. Seberapa besar kemanfaatan hukum dapat dibentuk dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial yang merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Tanpa budaya atau lingkungan hukum yang baik, struktur dan substansi hukum adalah bangunan yang tidak bernilai dalam konstruksi penegakan hukum yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Jakarta: Buku Kompas
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial dan
Hukum, (Setara Press: Malang) Gwe Made Swardhana, “Pergulatan Hukum
Positivistik Menuju Paradigma Hukum Progresif,”Jurnal MMH, Jilid 39 No.4,
(Desember, 2010)

Agus Raharjo, “Hukum dan Dilema Pencitraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum                             dalamTeori dan Praktek,”Jurnal Hukum Pro Justitia Volume 24 No.1

Rif’ah, “Penegakan Hukum di Indonesia: Sebuah Harapan dan Kenyataan”, Jurnal Justitia
Islamica, Vol. 12/No.
Arief Sidharta, “Pendekatan Hukum Progresif dalam Mencairkan Kebekuan Produk
Legislasi,” dalam Moh. Mahfud MD, Sidharta, Sunaryati Hartono, dkk, 2013,
Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif (Konsorsium Hukum
Progresif Universitas Diponegoro Semarang), Yogyakarta: Thafa Media

Marzuki, Peter Mahmud. 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana

Soehino, 1996, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty


Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,




[8] Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 21



[1]  Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum, (Setara Press: Malang), hal. 21-34.
[2]  Gwe Made Swardhana, “Pergulatan Hukum Positivistik Menuju Paradigma Hukum Progresif,”Jurnal MMH, Jilid 39 No.4, (Desember, 2010), hlm. 378
[3] Agus Raharjo, “Hukum dan Dilema Pencitraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktek,”Jurnal Hukum Pro Justitia Volume 24 No.1, hlm. 13
[4] Rif’ah, “Penegakan Hukum di Indonesia: Sebuah Harapan dan Kenyataan”, Jurnal Justitia Islamica, Vol. 12/No.1, (Januari-Juni, 2015), hlm. 40-41
[5] Ibid., hlm. 96
[6] E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Jakarta: Buku Kompas, hlm. 20
[7] Arief Sidharta, “Pendekatan Hukum Progresif dalam Mencairkan Kebekuan Produk Legislasi,” dalam Moh. Mahfud MD, Sidharta, Sunaryati Hartono, dkk, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif (Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro Semarang), Yogyakarta: Thafa Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar